Cerpen Tentang Belajar Jarak Jauh
Medium Rasa
Annisa Putri Ramadhanti
SMP Negeri 1 Sampit
Aku mengerjapkan mata dengan enggan.
Tidur nyenyakku berakhir paksa karena mendengar suara mama. Rentetan
kata-katanya laksana lagu rap Rich
Brian, tak berkesudahan. Lagu yang terus berulang untuk membangunkanku. Dengan malas aku duduk. Kuseret langkahku
menuju kamar mandi. Itu akan membuat
mama menghentikan lagu rap-nya.
Nah, benarkan. Suara mama ngerap langsung berhenti ketika
melihatku mengambil handuk dan berjalan ke arah kamar mandi. Aku sudah
memperkirakannya. Itu selalu terjadi di setiap pagi saat pemerintah
mengharuskanku belajar dari rumah.
Dinginnya air membuat mataku terbangun. Aku
keluar kamar mandi dengan riang. Masuk kamar dan mengunci diri di dalamnya.
Kusenandungkan lagu terbaru BTS. Tubuhku meliuk-liuk menirukan gerakan dance BTS. Kalau boleh jujur gerakanku
tidak bisa disebut dance, lebih tepat
kalau disebut bergoyang. Ya, bergoyang karena lebih mirip goyang dangdut
daripada dance. Aku tersipu dengan
pikiranku sendiri.
“Billa…!”
Gawat mama mulai lagi, pikirku. Ups aku
cepat-cepat membuka buku yang tergeletak di tempat tidurku. Kubuka pintu kamar.
Tampak mama berdiri di depan kamarku.
“Ada apa, sih, Ma? Billa sedang belajar,
nih!” aku memasang wajah kesal sambil bersandar di pintu kamar. Mataku tertuju
pada buku pelajaran yang ada di tanganku.
Mama memperhatikan buku yang kupegang, “Ya
udah ngga jadi! Sana belajar!”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Kututup
pintu dan segera kembali ke peraduan. Tiduran sambil nonton BTS. Asyik… hari
ini aku free tugas rumah lagi. Ku pasang
earphone ke telingaku. Ku usap benda
kotak itu. Kubuka thumbnail yang
menarik perhatianku. Senyum dan tawa mereka membuat bibirku mengembang. Dan
terkadang tawa lepas dari mulutku.
Notifikasi masuk ke layar handphone ku. Anak anak hari ini kita tidak menggunakan aplikasi zoom, kalian hanya
absen dan kerjakan tugas yang tertera di aplikasi, terima kasih. Yes… aku
sangat puas hari ini. Tidak ada tatap muka. Hanya absen dan mengerjakan tugas.
Itu bisa nanti nanti saja. Terakhir dikumpulkan nanti malam juga. Aku kembali
mengusap gawai dan asyik berselancar di dunia maya.
Tanpa kusadari waktu berputar lebih
cepat dari biasanya. telingaku serasa dikuasai earphone. Tak ada lagi yang kudengar selain suara di gawaiku. Suara
tinggi mama yang seperti highnote Ariana Grande saja tidak bisa menerobos
masuk telingaku.
Fokusku hanya kepada gawaiku. Hingga tak
sadar ada siluet tertangkap mataku. Oh, sial. Gawai yang semula di tanganku.
Sudah beralih tempat ke tangan ibu. Ohh Billa, kau harus mendengarkan rap itu kembali. Aku menatap mama malas
“Billa!” ibu menarik nafas panjang.
Kemarahan terpancar di matanya
“Sudah Mama bilang gunakan waktumu
dengan baik. Kau hanya menatap gawai. Dan tertawa tidak jelas. Tidak ada ilmu
yang bisa kau ambil dari sini. Kau hanya membuang-buang waktu saja. Pergilah
belajar dan Mama akan menyimpan ini!” mama berlalu pergi dengan gawai
tergenggam erat ditangannya.
Heh… sudah kuduga. Lagi, lagi, dan lagi,
aku mendengus kesal. Kubuka buku dengan malas. Menyandarkan kepala di meja. Menatap
jendela yang menembus langsung ke taman. Sepi, semua berubah saat virus kasat
mata itu datang.
“Billa…
Billa!!”
Aku mengumpulkan semua nyawaku. kulihat
jam dinding di kamar. Sejak kapan aku terlelap. Oh, tidak tugasku! Kulihat
buku yang menjadi alas tidurku. Aku lupa lagi mengerjakan tugas. Ohhh….
“Billa!!” aku segera berlari menghampiri mama yang memanggilku sedari tadi.
Aku berdoa agar tidak mendapatkan penampilan live rap-nya lagi.
“Kenapa, Ma…” kurapikan rambut yang
kusut.
“Duduk sini!” perintah Mama tegas.
Aku hanya bisa menurut. Duduk di samping
Mama berusaha tenang.
“Mau handphone-mu
kembali?”
Aku mengangguk cepat. Tenang, tenang, aku
berusaha setenang mungkin.
“Janji mau berubah!” kembali mama
bertanya.
Aku bungkam tak menjawab.
“Janji enggak? Kalau enggak biar
mamah simpan aja handphone-nya,” mama
menatapku tajam.
“Iya Billa janji bakal berubah” jawabku
asal.
Mama menyerahkan gawaiku kembali dengan
tatapan yang sedingin es. Aku kembali ke kamarku. Menghempaskan diri ke kasur.
Memainkan gawaiku yang telah lama menganggur. Aku mengisi daftar hadir yang
seharusnya sedari pagi kuisi. Melanjutkan tugas yang tertunda karena tidurku. Mungkin
ini sudah terlalu larut untuk mengumpul tugas. Tapi hari belum berganti. Masih
ada waktu untuk mengumpul tugas.
Aku meraih gawai yang tergeletak di atas
kasur. Aku lupa, konten kesukaanku hari ini diunggah. Kuraih earphone merehatkan pikiran dengan
menonton mereka. Siapa lagi kalau bukan BTS. Aku berusaha tertidur sambil
berharap mimpi indah bersama mereka.
***
Sepertinya pagi ini cuaca kurang
mendukung. Awan gelap menutupi langit kota. Genangan air hujan menutupi
jalanan. Belum ada tanda-tanda dari grup belajar kelas. Kuputar playlist lagu kesukaanku. Aku merebahkan
diri ke kasur. Menatap langit langit rumah. Menikmati cuaca dingin ini.
Kupejamkan mata menikmati lagu yang kuputar.
Dar…Suara petir menggaduhkan seluruh
rumah. Aku tersentak dan mengatur nafasku. Apa itu tadi petir sungguhan?
Sungguh menyeramkan. Aku melirik ke arah jam. Tunggu. Mengapa akhir akhir ini
aku sering tertidur?
Aku mencari gawaiku. Kubuka grup belajar
kelas. Banyak sekali pesan di dalamnya. Ahh… sialan. Mengapa saat zoom kelas aku tertidur? Lagi dan lagi. Aku
mengacak rambut frustasi. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mengerikan.
Aku membuka buku dan mengerjakan semua
tugas tertulis yang diberikan. Keadaan di luar sangat gaduh. Tapi telingaku
menangkap suara langkah kaki berjalan ke arah kamarku. Ohh… Billa kau harus
menyiapkan mentalmu.
Brak!
Pintu kamarku dibuka tiba-tiba. Kulihat
wajah mama yang memendam amarah. Dari caranya ia melihatku, sungguh mematikan.
“Billa! Sudah ibu bilang jangan
melalaikan pelajaran. Kemaren kamu sudah berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Tapi belum saja satu hari, kamu sudah berulah lagi. Malu mama sama gurumu. Mama
akan menyita handphone-mu. Mama akan berikan
saat belajar saja. Dan tidak ada penolakan” mama membanting pintu kamarku.
Sudah kuduga. Mengapa harus aku yang
disalahkan? Salahkan mataku yang tertutup saat akan ada pelajaran daring. Aku
mendengus kesal. Sekarang aku tidak bisa lagi menonton idola kesayanganku.
Hari-hari kulalui tanpa gawai di dekatku.
Aku harus menerima hukuman membantu ibu membersihkan rumah. Ini sungguh tidak
adil. Kedua adiku tidak diperlakukan seperti ini. Mengapa hanya aku? Sungguh
pilih kasih! Kegiatanku sehari-hari tanpa gawai hanyalah belajar, membantu ibu.
Jika bosan aku hanya bisa membaca novel. Kupandangi seluruh koleksi novel yang
sudah lama tidak kusentuh.
“Billa,” aku pura-pura tidak mendengar
“Billa,” lagi, ini sudah keberapa
kalinya namaku dipanggil mama.
“Kenapa, Ma” ucapku malas mendatangi
asal suara.
“Tolong buang sampah ke depo, Nak!” mama
menunjuk sampah yang dimaksud
“Itu aja?” tanyaku bermaksud menyindir
mama. Tanpa merasa tersindir mama mengangguk pasti.
Aku berbalik enggan, mengambil masker di
kamar. Tangan kiriku menjinjing sampah. Sudah lama aku tidak keluar rumah. Dulu
rumah serasa tempat idaman dan tempat menghilangkan penat. Tapi sekarang rumah
terasa seperti penjara.
Aku menghela nafas panjang. Akhirnya
sampai juga di depan depo sampah. Aku menyerahkan sampah yang kubawa pada
petugas depo. Mataku tiba-tiba menangkap sosok lelaki seumuranku sedang mengorek-orek sampah. Aku menajamkan
mataku. Sepertinya aku mengenali orang itu.
“Segah…” desahku tak percaya.
Aku tersentak dan langsung berlari
menjauhi depo sampah. Apakah Segah melihatku? Apa ia mengenaliku? Bagaimana
jika ia melihatku? Bagaimana jika ia merasa malu karena terlihat sedang
mengorek-korek sampah? Berbagai tanya merasuki pikiranku.
Segah merupakan murid yang sangat rajin
di kelasku. Aku sangat mengenalnya karena dua tahun lebih kami selalu satu
kelas. Semenjak daring Segah memang menghilang. Segah juga sering tidak
mengikuti pembelajaran daring. Guru guru juga mengatakan Segah sudah pindah
rumah.
Tak terasa aku sudah sampai di rumah.
“Billa pulang” aku berteriak sambil mencuci
tangan di kran depan rumah. Langsung menuju kamar. Pikiranku masih berkecamuk
dengan apa yang baru saja kulihat. Teman yang selama pembelajaran daring ini
menghilang. Tanpa sengaja kutemukan sedang mengorek sampah. Mengapa selama ini
aku tidak tahu?
***
Aku terbangun sebelum mendengar rap ibu. Aku selesai bersiap siap. Aku
melirik jam. Masih ada beberapa menit lagi. Aku menyalakan laptop. Mempersiapkan
barang barang yang diperlukan untuk belajar daring.
Pelajaran pertama adalah pelajaran ibu Minda.
Guru matematika sekaligus wali kelas kami. Pembelajaran berlangsung dengan
lancar. Aku bisa memahami pembelajaran dengan mudah.
“Sekian pembelajaran yang ibu sampaikan.
Jika ada yang belum memahami pembelajaran bisa menghubungi ibu. Dan juga terima
kasih untuk Billa yang mulai aktif dalam pembelajaran daring. Dan satu lagi,
jika ada yang tahu kabar dari Segah. Bisa hubungi ibu. terima kasih”
“Bu” aku mengangkat tanganku
“Iya kenapa Billa” ucap ibu Minda
mempersilahkan
Aku harus memberitahu kabar Segah kepada
guru, agar tidak ada yang khawatir dengan Segah yang tiba tiba menghilang. Tapi,
bagaimana jika Segah menjadi korban bully
karena ia adalah seorang pemulung. Atau…, malah aku yang di-bully.
“Ahh… tidak jadi, Bu. Saya sudah
mengerti. Nanti jika ada yang bingung saya akan bertanya kepada Ibu”
Kuurungkan niatku memberitahu tentang
Segah. Aku akan memberitahukan nanti.
“Baiklah kita akhiri pembelajaran hari
ini” ibu Minda menutup pembelajaran.
Aku harus memberitahu ibu Minda tentang
Segah. Jemariku mulai bergerak di aplikasi pesan. Ibu saya tahu Segah di mana. Segera kukirim pesanku dan tak sabar
menanti balasan ibu Minda.
Pemberitahuan layar gawai milikku
menyala. Mengapa tadi kamu diam saja? Jawab
ibu Minda.
Saya
takut di-bully,Bu.
Ketikku cepat.
Kali ini nada dering gawai milikku
berubah menjadi nada panggil. Aku segera menerima panggilan ibu Minda.
“Selamat siang, Bu” jawabku
“Selamat siang, Billa.” jawab ibu Minda
cepat, “Di mana kamu ketemu Segah, Nak?”
Aku tidak langsung menjawab, kuatur
napasku agar tenang,”Di depo sampah, Bu’”
“Terus, kamu ada ngomong ngga kalau kita selama ini belajar daring?”
Kembali aku mengatur napas,”Bila ngga ngomong, Bu…”
“Lo, kenapa, Nak?”
“Billa takut Segah malu. Billa cepat
pergi dari depo saat tahu itu Segah,” jawabku pelan. Taka da jawaban dari ibu
Minda.
”Segahnya sedang memulung sampah,Bu…”
lanjutku.
“Apa, Nak? Yang benar, Nak? Masa Segah
memulung sampah?”
“Billa juga ngga tahu, Bu. Billa juga kaget waktu itu, makanya Billa
cepat-cepat pergi.” aku mendesah,”Ibu jangan ngomong ke teman-teman kalau Segah memulung ya,”
Lama tidak kudengar jawaban ibu Minda.
Aku menunggu.
“Ibu bangga pada Billa.”
Akhirnya ibu Minda menjawab. Aku mengeryitkan
dahi tidak mengerti dengan maksud kata-kata ibu Minda.
“Ibu bangga kamu masih peduli dengan
temanmu. Kamu takut Segah menjadi korban perundungan sehingga tadi kamu tidak
memberitahukan ibu di pertemuan kelas tadi. Kamu anak baik, Billa.”
Ohh… sekarang aku mengerti maksud ucapan
ibu Minda,”Ibu…boleh ngga saya jadi
perantara pembelajaran untuk Segah?” tiba-tiba tebersit ide di otakku.
“Maksudnya?”
“Mungkin Segah tidak punya handphone, Bu. Saya ingin bantu Segah
menyampaikan pembelajaran dan tugas dari ibu.” kata-kata itu keluar begitu saja
dan membuatku sendiri terkesima. Ada apa ini? Mengapa aku menjadi peduli dengan
Segah?
“Kamu mau jadi medium pembelajaran ibu?”
terdengar nada ragu di kalimat ibu Minda, ”Billa, kamu baik sekali.” lanjutnya.
“Bukan begitu, Bu. Saya cuma mau bantu
Segah.”jawabku cepat.
“Wah, ternyata ibu selama ini salah
menilaimu, Billa. Ibu minta maaf.,” terdengar ucapan ibu Minda, “Kamu juga
sudah memberi ibu solusi cara belajar inovatif agar Segah dapat belajar
kembali. Kamu hebat, Nak.”
Aku merasa wajahku kemerahan mendengar
ucapan ibu Minda. Malu, dan lebih malu lagi ada terselip bangga di hati.
“Jadi, boleh ngga Bu, saya menjadi perantara ibu dan Segah?” tanyaku lagi
memastikan.
“Boleh…boleh sekali. Nanti ibu juga akan
menemui Segah. Kamu mau kan menemani”
“Iya, Bu” jawabku cepat.
Pembicaraanku dengan ibu Minda berakhir
dengan rasa bahagia. Aku sendiri takjub dengan rasa ini. Ternyata ada rasa
nyaman bersikap baik. Mengapa selama ini aku tidak menyadarinya? Aku
tersenyum-senyum malu dan tersipu.
***
”Mama, Billa ke depo sampah dulu”
pamitku
Mama bergegas menghampiriku. Di
tangannya tampak plastik besar.
“Mama titip ini, Billa,” ujarnya
Aku mendengus kesal,” Mama ngga lihat ya tangan Billa penuh gini?”
Aku berbalik memperlihatkan ransel berisi buku yang akan kupakai belajar
bersama Segah. Aku juga memperlihatkan tanganku yang memegang plastik berisi
botol-botol. Botol-botol itu sudah kupersiapkan sebelumnya untuk kuberikan
kepada Segah.
“Sampahnya tinggal saja dulu. Ini
sembako untuk Segah!”
Aku membelalakan mata. Lo, mama tahu
dari mana? Huh, pasti ibu Minda!
Mama mengerdipkan mata ke arahku dan
mengacungkan jempolnya. Rasa marahku menyurut. Aku tersenyum dan membalas
kerdipan mata mama.
Kulangkahkan kakiku dengan riang ke depo
sampah yang tidak berada jauh dari rumahku. Sampai di depo sampah kuperhatikan
sekitar. Tidak ada tanda tanda Segah disini. Rasanya beberapa hari lalu saat
aku melihatnya, waktunya sama dengan sekarang. Aku mengambil inisiatif untuk bertanya
kepada petugas di depo.
“Pak laki laki yang seumuran saya yang
biasanya disini ke mana ya, Pak?” tanyaku
Bapak itu menatapku dengan selidik, “Siapa?”
tanyanya, “Segah?”
Aku mengangguk antusias. Bapak ini kenal
Segah.
“Dua hari yang lalu Segah dibawa ke rumah
sakit. Ada salah satu temannya terkena covid. Kabarnya dia juga terjangkit.”
Bapak itu terlihat prihatin.
“Dia anak yatim, niatnya ngebantu ibunya tapi malah terkena
covid, Nak” jelas petugas depo sampah
Aku terpana. Lidahku terasa kelu. Aku
tidak bisa berkata apa apa. Perlahan kuberikan sembako titipan mama pada bapak itu.
Bapak itu menatap bingung.
Komentar
Posting Komentar